Aku masih duduk sendiri disini menyaksikan Sang Raja siang kembali ke peraduannya. Tak terasa sudah 2 jam lebih aku disini di tepi pantai Lovina menunggu seseorang yang sudah berjanji akan menemuiku. Namun, kenyataaanya sampai detik ini ia tak muncul juga. Aku mendesah kecewa. Ia tak menepati janjinya, bahkan untuk mengirim pesan membatalkan pertemuanpun tidak ia lakukan. Teganya ia membiarkanku menunggu selama 2 jam berharap kali ini ia benar-benar akan meluangkan waktu untukku setelah selama 2 bulan tak bertemu.
Dengan berat hati aku berdiri, menatap hamparan laut yang mulai tak tampak kebiruannya, malam sudah mengambil alih siang. Kubiarkan angin laut mengibas-ngibas rambutku sehingga menutupi wajahku yang kini sudah tak kuasa menahan tangis. Air mata itu mengalir begitu saja membasahi pipiku, aku tersenyum miris lalu menghapus air mata yang entah rela ku keluarkan untuk seseorang seperti dirinya.
Sahabat? Kau bilang kita sahabat?
Aku berdecak kesal. Ternyata pilihan yang salah akumenganggapnya sebagai sahabat terbaikku, pilihan yang salah aku masih merasa bagian terpenting darinya sedangkan kini ia sudah memiliki kekasih hati. Pilihan yang salah bahwa aku masih mempercayai setiap apa yang ia janjikan sedangkan kenyataannya sudah 3 kali ini ia mengingkari janjinya. Pilihan yang salah bahwa aku masih menyayanginya.
***
Aku mengetuk-ngetukkan jariku di atas meja, berfikir
untuk mencari ide untuk bahan skripsiku. Tiba-tiba Hp ku bergetar dan
berputar diatas meja, aku melirik nama penelpon yang tertera di layar HP
ku. Aku mendengus ketika mengetahui orang yang tak ingin ku ingat kini
menungguku untuk mengangkat telponnya, Andrew. Kubiarkan saja Hp it
uterus bordering hingga ia berhenti bergetar dengan sendirinya. Sesaaat
kemudian Hp ku kembali bergetar, kulihat sebuah pesan masuk darinya, ku
raih Hp ku lalu membuka pesan itu.Zia… kenapa kau tak mengangkat teleponku?
Aku tahu kau marah padaku, tapi aku bisa menjelaskan semuanya.
Angkatlah telponku berikan aku kesempatan untuk menjelaskan padamu.
Aku meletakkan HP ku di atas meja, terlanjur kecewa dengan aperbuatannya dua hari yang lalu. Yang benar saja ia melakukan hal itu dua hari yang lalu tapi baru hari ini meminta maaf! HP ku bergetar untuk kesekian kalinya, aku tak mempedulikannya. Setelah cukup lama akhirnya Hp ku membisu.
Bosan tak bisa memfokuskan kosentrasiku untuk skripsi, kuputuskan untuk menonton TV di ruang tengah. Setengah jam berlalu namun aku tak bisa menghilangkan dirinya dari fikiranku. Kecewa, satu kata itu yang sangat menggambarkan perasaanku sekarang. Aku tak pernah menyangka persahabatanku dengannya akan berakhir seperti ini. Sahabat yang sejak kecil selalu menemaniku dan selalu ada di saat aku membutuhkannya kini dengan tega mencampakkanku. Aku selalu berusaha untuk memahami dan mengerti keadaannya. Namun kali ini aku sungguh tak sanggup lagi untuk melakukannya jika ia tak pernah mencoba untuk mengerti keadaanku.
Aku tersadar dari lamunanku ketika bel rumahberbunyi nyaring mengagetkanku. Dengan malas aku beranjak dari duduk menuju ke pintu. Terkejut ketika laki-laki itu berdiridi depan pintu yang baru saja ku buka, reflex aku menutup pintu kembali namun ditahan oleh tangannya.
“Tolong… dengarkan aku, aku bisa menjelaskannya” ucapnya memohon.
Aku memalingkan wajahku takingin menatap wajahnya.
“Aku tak membutuhkan alas an darimu!” ucapku dingin.
“Zi… aku tak ingin terjadi kesalah pahaman diantara kita. Izinkan aku menjelaskannya…”
Aku menghela napas berat.
“Oke, silahkan!” ujarku tanpa menoleh sedikitpun padanya.
“Hmm… Bisakah kita membicarakannya di dalam? Sungguh tak nyaman berdiri diambang pintu seperti ini” pintanya.
Aku menggeser tubuhku memberikan jalan untuknya. Ia duduk di sofa ruang tamu, begitu juga denganku yang duduk dihadapannya.
“Aku benar-benar minta maaf dua hari yang lalu aku tak bisa menepati janjiku bertemu denganmu” ucapnya mulai menjelaskan.
“ck, tahu kah kau, aku menunggumu lebih dari 2 jam berharap kau menemuiku meskipun telat” ucapku masih dengan nada dingin.
“Benarkah?! Aku minta maaf Zi… Sore itu ketika aku akan berangkat menemuimu, tiba-tiba saja aku mendapat telpon dari temanku bahwa Rina mengalami kecelakaan. Tentu saja aku panic dan langsung menuju ke lokasi kejadian. Aku menemukannya sudah tak sadarkan diri dipelukan temanku, Desi. Aku semakin panic dan segera membawanya ke rumah sakit. Keadaannya kritis. Saat tengah malam ketika sedang menunggunya, aku baru teringat tentang janjiku padamu, aku berniat menghubungimu namun sialnya HP ku mati dan aku tidak membawa chargerku. Aku benar-benar minta maaf Zi… kumohon mengertilah mengertilah keadaanku saat itu” jelasnya panjang lebar.
“Oh, jadi kekasihmu itu lebih penting dari pada aku?!” ujarku.
“Zi… Bukan begitu, kau sahabat terbaikku,kita bersahabat sejak kecil jauh sebelum mengenalnya aku sudah mengenalmu terlebih dahulu, tentu saja kau adalah seseorang yang berarti dalam hidupku dan jangan pernah membandingkannya denganmu. Tapi… karena kejadian itu aku benar-benar panik. Kau dan dia sama pentingnya bagiku, namun instingku mengatakan dia lebih membutuhkanku saat ini. Kumohon… mengertilah bagaimana keadaanku saat itu…” ucapnya memohon.
Aku menghela napas berusaha menjernihkan pikirnku.
“Baiklah, kali ini aku memaafkanmu. Ku berikan kau satu kesempatan dan kuharap kau tak akan menyia-nyiakannya” ujarku. Kulihat ia tersenyum lega lalu memelukku.
“Terimakasih sahabatku… aku janji tak akan menyia-nyiakannya” ucapnya lirih.
Aku tersenyum, aku harap aku tak mengambil keputusan yang salah, memberi kesempatan padanya untuk merubah sikapnya. Memberi kesempatan padanya untuk merubah semua paradigma yang kumiliki terhadapnya selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar